Oleh : Ardin S. (Penyuluh Pajak KPP Pratama Jakarta Pademangan)
Periode pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi Tahun Pajak 2025 akan segera dimulai. Seperti diketahui bahwa pelaporan SPT Tahunan nantinya akan menggunakan aplikasi coretax sebagai sistem perpajakan terbaru. Terkhusus Wajib Pajak orang pribadi, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), bahwa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Wajib Pajak orang pribadi telah menggunakan Nomor Induk Kependudukan, sehingga dalam aplikasi coretax tersebut telah dikenali Wajib Pajak yang berada dalam satu keluarga. Kondisi ini sangat berbeda dengan sistem perpajakan sebelum coretax.
Sesuai ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), keluarga dianggap satu kesatuan. Artinya, hanya suami yang berkewajiban memiliki NPWP untuk melaporkan semua penghasilan termasuk penghasilan dari istri dan anak jika anak tersebut belum memenuhi syarat untuk memiliki NPWP sendiri. Akan tetapi, banyak pasangan yang memilih memiliki NPWP terpisah karena berbagai alasan, seperti adanya perjanjian pisah harta atau sekadar ingin mandiri mengurus pajak pribadi.
Pilihan NPWP terpisah ini memiliki konsekuensi sendiri saat masa pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi Tahun Pajak 2025 yang akan dilaporkan pada aplikasi coretax yang telah disebutkan di atas.
Siapa yang wajib punya NPWP pisah?
Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU PPh, NPWP suami dan istri dapat dipisah jika :
1.Ada perjanjian tertulis (akta notaris) yang mengatur pemisahan harta dan penghasilan atau yang dikenal dengan istilah Pisah Harta (PH),
2.Istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan sendiri atau yang dikenal dengan istilah Memilih Terpisah (MT), dan
3.Suami dan istri telah resmi bercerai atau yang dikenal dengan istilah Hidup Berpisah (HB).
Dari ketiga kondisi di atas, suami dan istri masing-masing harus melaporkan SPT Tahunannya. Untuk kondisi HB, tentunya pelaporan SPT Tahunan harus dilakukan masing-masing karena secara hukum keduanya sudah tidak dalam satu kesatuan keluarga sehingga status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang digunakan saat pelaporan adalah Tidak Kawin (TK).
Untuk kondisi PH atau MT, pelaporan SPT Tahunan juga harus dilakukan masing-masing tetapi dengan perhitungan yang berbeda, yaitu penghasilan suami dan istri harus digabung untuk menghitung berapa PPh Terutang untuk masing-masing suami dan istri.
Kenapa harus tetap digabung?
Ini adalah hal terpenting yang harus dipahami. Sebagaimana ketentuan Pasal 8 UU PPh yang telah disebutkan di atas, walaupun suami dan istri memiliki NPWP sendiri dan lapor SPT Tahunan sendiri-sendiri, untuk kondisi PH dan MT, karena masih dalam satu kesatuan keluarga, maka perhitungan pajak terutang wajib digabungkan.
Penghasilan bersih (neto) suami dan istri digabungkan terlebih dahulu. Total penghasilan besar ini kemudian dikenakan tarif pajak sesuai Pasal 17 UU PPh yang sifatnya progresif (berlapis-lapis) sesuai dengan lapisan Penghasilan Kena Pajak. Hasil total pajak yang terutang kemudian dibagi dialokasikan kepada suami dan istri berdasarkan perbandingan penghasilan neto masing-masing.
Akibat dari penggabungan penghasilan tersebut kemungkinan besar akan
memunculkan PPh kurang bayar oleh karena total penghasilan suami dan istri masuk ke lapisan tarif pajak tertinggi (misalnya 25% atau 30%). Hal ini sangat berbeda jika NPWP keduanya digabung.
Untuk lebih memahami ketentuan di atas, berikut kami akan berikan contoh ilustrasi perhitungan pajak sebagai berikut.
Contoh : Suami dan istri memilih PH atau MT
Suami A memiliki penghasilan neto sebagai pegawai sebesar Rp 200.000.000,- dan telah mendapatkan bukti potong 1721 A1/A2 dengan PPh 21 yang telah dipotong sebesar Rp 13.200.000,- Istri B memiliki penghasilan neto sebagai pegawai sebesar Rp 150.000.000,- dan telah mendapatkan bukti potong 1721 A1/A2 dengan PPh 21 yang telah dipotong sebesar Rp 8.400.000,- Keduanya memiliki tanggungan 3 orang anak, sehingga PTKP yang digunakan K/I/3 sebesar Rp 126.000.000,- dengan rincian sebagai berikut :
PTKP suami (diri sendiri) Rp 54.000.000,-
PTKP status kawin Rp 4.500.000,-
PTKP istri Rp 54.000.000,-
PTKP anak Rp 13.500.000,- (@ anak Rp 4.500.000)
PPh terutang masing-masing berapa?
Pertama, hitung PPh terutang gabungan dengan rincian sebagai berikut :
Penghasilan neto gabungan Rp 350.000.000,-
PTKP Rp 126.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 224.000.000,-
PPh Terutang gabungan :
Lapisan PKP sd. Rp 60 juta, tarif 5% (5% x Rp 60 juta) —————————- Rp 3.000.000
Lapisan PKP Rp 60 juta – Rp 250 juta (15% x (Rp 224 juta – Rp 60 juta)) —- Rp 24.600.000
Sehingga Total PPh Terutang menjadi sebesar Rp —————————– Rp 27.600.000
Kedua, hitung proporsi PPh terutang masing-masing dengan rumus :
Penghasilan Neto Suami/Istri x Total PPh Terutang Gabungan
Total Penghasilan Neto Suami & Istri
Suami :
Rp 200.000.000 x Rp 27.600.000 = Rp 15.771.429
Rp 350.000.000
Istri :
Rp 150.000.000 x Rp 27.600.000 = Rp 11.828.571
Rp 350.000.000
Sehingga PPh kurang bayar masing-masing adalah :
Suami : Rp 15.771.429 – Rp 13.200.000 = Rp 2.571.429
Istri : Rp 11.828.571 – Rp 8.400.000 = Rp 3.428.571
Bagaimana jika suami dan istri memilih menggunakan satu NPWP?
Jika menggunakan ilustrasi contoh di atas, tidak ada tambahan PPh kurang bayar oleh karena penghasilan istri hanya dilaporkan ke dalam lampiran SPT Tahunan suami sebagai penghasilan bersifat final.
Kesimpulan, NPWP terpisah memberikan kemandirian, namun bukan berarti perhitungan pajak juga terpisah. Bagi suami dan istri yang memilih PH atau MT, pajak tetap dihitung secara kolektif dengan risiko terkena tarif progresif yang tinggi. Memahami mekanisme penggabungan ini sangat penting, terutama saat pelaporan SPT Tahunan tahun pajak 2025 dan seterusnya yang telah menggunakan aplikasi Coretax, agar pelaporan SPT Tahunan 2025 berjalan lancar dan terhindar dari sanksi.


