
JAKARTA — Pemerintah Indonesia dan Polandia resmi menandatangani Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA). Kesepakatan itu tidak hanya mencakup pemberantasan kejahatan umum, tetapi juga kejahatan di bidang perpajakan dan bea cukai.
Perjanjian MLA ditandatangani Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dan Menteri Kehakiman Polandia Waldemar Zurek, Jumat (19/9/2025), di Kementerian Kehakiman Polandia.
Polandia menjadi negara Eropa kedua setelah Swiss yang memiliki perjanjian MLA dengan Indonesia. Supratman menegaskan, perjanjian ini merupakan langkah konkret pemberantasan kejahatan lintas negara, sekaligus penguatan posisi Indonesia sebagai anggota Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang atau Financial Action Task Force (FATF).
”Kerja sama ini tidak hanya mencakup pemberantasan kejahatan umum, tetapi juga kejahatan di bidang perpajakan dan bea cukai,” ujar Supratman melalui keterangan resmi, Jumat.
Ia juga menyebut penandatanganan itu bertepatan dengan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia–Polandia yang dimulai pada 19 September 1955 sehingga memiliki nilai historis yang sakral.
Menteri Kehakiman Polandia Waldemar Zurek menyambut baik kerja sama tersebut. Ia menyebut perjanjian MLA akan menjadi awal baru bagi hubungan hukum kedua negara. Polandia juga ingin membuka diskusi lebih lanjut terkait kemungkinan transfer tahanan dan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia
Selain perjanjian MLA, kedua menteri juga menandatangani joint statement yang menegaskan komitmen untuk memperkuat pertukaran pengalaman dan koordinasi antarkementerian. Supratman optimistis kesepakatan ini menjadi pintu masuk bagi pembentukan perjanjian MLA dengan negara-negara Uni Eropa ataupun mitra internasional lainnya.
Adapun dalam penandatanganan kerja sama bilateral itu, Supratman didampingi oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum Inspektur Jenderal Nico Afinta, Staf Khusus Menkum Bidang Luar Negeri Yadi Hendriana, Staf Khusus Adam Muhammad, Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional, serta perwakilan Kementerian Luar Negeri RI. Delegasi RI juga didampingi Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Polandia Agus Heryana.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, berpandangan, perjanjian MLA bukanlah barang baru. Hal itu sudah sering dilakukan dengan negara lain, termasuk Polandia.
Menurut dia, memang sudah menjadi tugas dari pemerintah untuk membangun relasi bilateral dengan negara lain dalam bentuk apa pun, termasuk kerja sama hukum. ”Saya tidak mau hal itu diglorifikasi, padahal biasa saja. Itu memang tugas pemerintah,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Ia justru mempertanyakan poin-poin apa saja yang ditandatangani dalam kerja sama tersebut. Apakah poin-poin itu bisa membantu mempermudah Indonesia dalam pencarian buron koruptor, misalnya berkaitan dengan identifikasi orang. Selain itu, apakah kerja sama juga berkaitan dengan penggeledahan, perampasan aset, dan sebagainya.
”Selain acara seremonial penandatanganan kerja sama, yang paling penting juga adalah bagaimana menegaskan komitmen implementasinya,” lanjutnya.
Alih-alih mengagungkan kerja sama dengan luar negeri, ia pun mendesak pemerintah untuk lebih serius dan berfokus pada pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di dalam negeri. Ia menilai, akan percuma MLA ditandatangani dengan sejumlah negara jika Indonesia tidak siap dengan perangkat hukum untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi di dalam negeri.
”Yang perlu didorong dan diseriusi pemerintah adalah bagaimana mendorong UU Perampasan Aset itu. Jadi, kalau kita punya trigger UU Perampasan Aset, itu pasti akan simultan dengan upaya untuk mendorong MLA di negara-negara lain,” katanya.
Oleh sebab itu, baginya, selain bekerja sama bilateral dengan negara lain, pemerintah juga perlu berfokus pada masalah internal untuk mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset. Jika RUU Perampasan Aset disahkan, negara diharapkan bekerja keras dalam menyelesaikan perkara-perkara dan mengejar para buron ke luar negeri