Penulis : Baiq Sukma Widiawati
(Pegiat literasi)
OPINI
Mamuju – Kami berangkat dengan langkah yang setengah yakin, setengah nekat. Hujan turun tanpa permisi, membasahi jalan tanah, sepatu, dan percakapan kami. Ada empat tubuh yang bergerak, membawa lelah masing-masing. Salah satu dari kami yang baru saja mendaki langkahnya limbung, napasnya berat, seperti tubuhnya hendak menyerah lebih dulu daripada bukit.
Anehnya seolah langit sengaja memberi jeda bukan hanya untuk tubuh yang kelelahan, tapi juga untuk pikiran yang akan saling beradu.
Perjalanan itu penuh diskusi. Tentang hidup, tentang capek, tentang apa yang pantas dipertahankan dan apa yang seharusnya dilepaskan. Lelah kami akhirnya terbayar di Pos Dua. Bukit itu menyuguhkan keindahan yang sunyi angin yang jujur, hijau yang tak berisik, dan pemandangan yang membuat semua keluhan terasa kecil. Kami tertawa, bercanda, dan merasa hidup sedang baik-baik saja.
Sampai pembicaraan itu datang: sawit. Temanku anggap saja namanya Opi berbicara dengan suara tegas. Baginya, sawit adalah luka. Ia menyebut kerusakan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, tanah yang dipaksa tunduk pada satu jenis tanaman, dan sungai yang kehilangan kejernihannya. Opi tidak setengah-setengah. Ia tidak sepakat. Tidak ada ruang tawar.
Saya terdiam lebih lama dari biasanyaKarena di kepalaku, sawit bukan hanya data dan grafik.
Sawit adalah dapur rumah kami yang tetap mengepul.
Sawit adalah seragam sekolah yang terbeli tepat waktu.
Sawit adalah kehidupan orang tuaku
Sawit adalah UKT, kos, buku-buku dan almamater kami.
Para petani kecil yang bekerja dari pagi hingga senja, mereka bukan perusak, mereka hanya orang-orang yang ingin bertahan hidup dengan cara yang mereka tahu.
Saya sepakat: sawit bisa merusak.
Tapi aku juga tahu: sawit tidak selalu merusak jika ia ditanam dengan keseimbangan, dengan batas, dan dengan tanggung jawab.
Faktanya, kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak nabati paling efisien di dunia. Dengan lahan yang lebih kecil, sawit menghasilkan minyak jauh lebih banyak dibanding kedelai atau bunga matahari. Artinya, jika dikelola dengan benar, sawit justru dapat mengurangi kebutuhan pembukaan lahan baru. Persoalannya bukan semata pada tanamannya, melainkan pada cara manusia mengelolanya.
Di Indonesia termasuk Sulawesi Barat lebih dari 40% kebun sawit dikelola oleh petani rakyat, bukan korporasi besar. Bagi mereka, sawit bukan simbol keserakahan, melainkan alat bertahan hidup. Banyak keluarga menyekolahkan anak, membangun rumah, dan keluar dari kemiskinan ekstrem berkat sawit.
Di Pos Dua itu, di antara keindahan alam dan tawa yang mulai reda, aku sadar:
Perdebatan kami bukan soal siapa yang benar.
Ini tentang dua mata yang berbeda.
Opi mencintai hutan dengan kemarahan yang tulus.
Aku mencintai alam, tapi juga orang tuaku dengan seluruh keterbatasan pilihan hidup mereka.
Mungkin yang kita butuhkan bukan penolakan mutlak, tapi keberanian untuk mengatur dengan adil. Bukan meniadakan sawit, melainkan menertibkannya. Menjaga agar ia tidak rakus, tidak liar, tidak menghabiskan segalanya.
Bukit Sukun mengajarkan satu hal hari itu:
Alam tidak pernah meminta kita memilih satu dan membunuh yang lain. Ia hanya meminta keseimbangan. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Ar-rahman ayat 7-9.


